LA DECIMA

LA DECIMA

Senin, 26 Mei 2014

Kalau Ada yang Gratis, Kenapa Harus Bayar?


Ada satu kalimat yang cukup sering dibicarakan oleh perempuan jika berhadapan dengan penawaran produk atau jasa: Kenapa mesti membayar jika memang bisa dapat gratis? Seberapa penting “produk atau layanan gratis” bagi mereka?



Needs vs Budget

Dalam riset yang dilakukan oleh MarkPlus Insight mengenai Women: Anxieties and Desires (2010), aspek price (harga) menempati urutan kedua setelah needs (kebutuhan) berkaitan dengan faktor yang dipertimbangkan oleh perempuan sebelum membeli produk atau mengakses suatu layanan. Sebanyak 79,9 persen responden menyatakan bahwa “I usually purchase something based on my needs and budget”. Hal ini menunjukkan bahwa bagi perempuan di hampir semua level, faktor harga tetap menjadi poin penting. Bahkan, harga menjadi salah satu dari lima besar aspek yang mereka pertimbangkan sebelum membeli produk atau mengakses layanan.

Mengapa perempuan seolah-olah menjadi sangat price sensitive? Salah satu alasannya adalah “keseimbangan”. Dalam benak perempuan, faktor ini menjadi penting manakala mereka sudah berpenghasilan atau mereka sudah berumah tangga. Dari hasil riset MarkPlus Insight tersebut juga ditemukan bahwa sebanyak 84,9 persen perempuan yang telah menikah juga mengelola gaji suami. Kepiawaian untuk mengelola sehingga pada saat akhir bulan tidak terjadi defisit mengakibatkan perempuan harus cerdas dan bijaksana. Salah sedikit saja, mereka bisa dibilang “tidak becus, ceroboh dan boros”. Wajarlah apabila mereka sangat khawatir jika menjelang akhir bulan pundi-pundi keuangan mereka tidak ada sisa atau malahan defisit. Wajar pula ketika kemudian mereka sangat concern terhadap harga.

Pengeluaran untuk kebutuhan belanja bulanan (termasuk makanan) menempati pos terbesar hampir di semua segmen.  Sangat rasional ketika kemudian pada saat pembelian produk, perempuan berusaha mati-matian menyeimbangkan antara pendapatan dengan pengeluaran, kalau bisa malah menyisakan untuk mereka tabung atau digunakan untuk pembelian barang lain yang sifatnya sekunder atau bahkan tersier. Demi menekan budget, perempuan rela mengejar diskon, meski kadang-kadang harus rela mengantre dan memerlukan biaya transport yang tinggi untuk mencapai lokasi penjualan, apalagi jika ada produk atau layanan yang ditawarkan secara gratis bagi mereka.

Seberapa Efektif Penawaran Gratis kepada Perempuan?

Jujur saja, sejauh ini penawaran layanan atau produk yang  100 persen gratis untuk perempuan masih  bersifat insidental dan biasanya berhubungan dengan event tertentu (misalnya Hari Perempuan Sedunia, atau Hari Kartini).  Dalam beberapa tahun terakhir ini saja, yang terlihat cukup antusias memberikan layanan gratis kepada perempuan adalah sektor perhotelan dan pariwisata, diikuti beberapa sektor kesehatan. Namun demikian, penawaran gratis kepada perempuan terlihat masih  bersifat setengah-setengah. Seperti misalnya yang dilakukan oleh salah satu hotel berbintang di Jakarta yang mencoba menawarkan layanan gratis untuk pengunjung perempuan, mulai dari menginap, makan, hingga spa dan perawatan tubuh, hanya saat Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret.

Ada juga layanan kesehatan gratis untuk perempuan, yaitu pemeriksaan pap-smear untuk mendeteksi kanker serviks, atau layanan KB gratis, tetapi itu pun juga dalam rangka Hari Kesehatan Nasional, 7 April. Belum lagi layanan gratis juga ditawarkan oleh salah satu provider telekomunikasi terkemuka di Indonesia, melalui konten seputar dunia perempuan, karena pelanggan provider ini kebanyakan memang didominasi oleh kaum hawa. Layanan tersebut dapat diakses dengan nomor menu browser tertentu dan langsung terhubung dengan menu yang menampilkan beragam informasi dan tips seputar dunia perempuan, yakni tren gaya hidup (lifestyle), tips cantik dan sehat, tips keluarga dan anak hingga resep masakan ala Farah Quinn, dan lain-lain langsung dari ponsel.

Contoh layanan yang diharapkan berjalan kontinyu adalah layanan gratis untuk perempuan korban KDRT (kekerasan Dalam Rumah Tangga). Rumah Sakit atau sumber-sumber perawatan yang menolak pasien korban KDRT justru akan mendapatkan sanksi dari Pemerintah. Ada juga layanan persalinan gratis untuk Ibu Hamil di daerah yang minim sumber perawatan. Layanan ini dicanangkan sejak Maret 2010, yang didasarkan pada tingginya angka kematian ibu melarkan di Indonesia. Menurut data Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Pasifik (UNESCAP), Program Pembangunan PBB (UNDP), UNFPA, dan WHO, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia telah berada pada posisi 420 per 100.000 penduduk. Syukurlah, Pemerintah Indonesia masih peduli dengan mengucurkan dana sekitar Rp 1,45 triliun untuk program ini. Namun demikian, apakah sejauh ini perempuan benar-benar menikmati layanan tersebut? Apakah yang sebenarnya apa dibutuhkan oleh perempuan sudah terakomodasi secara optimal?

Gratis, Siapa Takut?

Bagaimana mengelola perempuan sebagai market share? Salah satu aspek penting yang harus diperhatikan adalah “eksklusivitas”. Buatlah perempuan mau meluangkan waktu dan merasa nyaman terhadap produk atau layanan Anda, kemudian berikan penawaran khusus yang menarik perhatian konsumen untuk membelinya. Pada bagian penawaran khusus, embel-embel “gratis” bisa menjadi alternatif untuk menarik hati perempuan. Lalu, apa yang bisa dinikmati oleh produsen atau perusahaan apabila mereka memberikan fasilitas gratis kepada perempuan? Apakah kemudian perusahaan bisa memperoleh keuntungan?

Di era Marketing 3.0, perilaku dan nilai-nilai dari sebuah perusahaan semakin terbuka untuk diinspeksi oleh publik. Perkembangan jaringan sosial membuat orang semakin mudah untuk membicarakan kinerja perusahaan, produk dan brand baik fungsional maupun sosial, apalagi generasi konsumen saat ini sudah lebih banyak memperhatikan isu-isu dan masalah sosial. Akan lebih tampak jelas lagi di kalangan perempuan. Perusahaan yang women-centric akan mendapat simpati lebih dalam dari kaum perempuan. Mereka tidak lagi menjadi sasaran utama penjualan produk atau jasa, melainkan sebagai mitra yang siap bekerjasama untuk mengkomunikasikan kinerja perusahaan melalui word of mouth ke sesama perempuan. Perusahaan semestinya bisa menangkap peluang ini sebagai tantangan menghadapi era Marketing 3.0 dan tidak hanya merasa tenang di “zona aman” Marketing 1.0 atau 2.0.

Memberikan sesuatu yang gratis kepada para perempuan sesungguhnya cukup impactful. Gratis bisa dimaknai sebagai “kompensasi” atau “hadiah” karena perempuan telah berjasa untuk ikut memasarkan produk kita, meski secara tidak langsung. Wajarlah jika nilai word of mouth dalam merekomendasikan produk kita semestinya dihargai dalam bentuk free marketing for women.



Tidak ada komentar

Posting Komentar